Tradisi Maulid dan Adat Cukaiba

 

Oleh : Dheni Tjan
(Pemerhati Sejarah dan Sosial Budaya)


    Ditengah terpaan derasnya arus kran globalisasi dan modernisasi, salah satu tradisi bernuansa relijius-Islami, yakni tradisi “Maulur” yaitu  perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW pada setiap 12 Rabiul Awal yang dipadukan dengan tradisi adat (kearifan lokal), masih bisa kita saksikan berkembang (survive) di Halmahera Timur (Haltim) dan Halmahera Tengah (Halteng) Provinsi Maluku Utara sampai saat ini, tak terkecuali perayaan Maulid Nabi pada tahun 2016 yang jatuh pada hari Senin tanggal 12 Desember 2016 (1438 H). Seperti diantaranya perayaan Maulid di Bicoli-Maba dan Lolobata-Wasile Haltim, serta di Weda dan Gemia-Patani Halteng. 

     Daerah yang dikisahkan menjadi tempat siar Islam Syekh Umar dan Syakh Amin dari Bagdad-Irak pada abad ke-8 Masehi itu (Saleh A.Putuhena :1980), ternyata tradisi Maulidnya terbilang unik dan khas karena dipadukan dengan adat Cukaiba (Cokaiba) yang tidak ada di daerah lain yang masih tetap eksis mengikuti dinamika zaman.  Tidak berlebihan, masih dalam suasana memasuki minggu keempat bulan Rabiul Awal (paruh awal Januari 2017), Penulis sedikit mangelaborasi dalam tulisan ini terkait tradisi unik- khas tersebut, semoga bermanfaat. 

     Cukaiba adalah manusia yang menyamar dengan mengenakan pakaian menutup seluruh aurat dan memakai semacam topeng menutup wajah dan kepala. Tentang asal usul Cukaiba, dikisahkan bahwa pada mulanya Cukaiba adalah pasukan perang di Haltim-Halteng (Gamrange) pada zaman dahulu. Ada sumber di Haltim mengisahkan bahwa manusia bertopeng “Cukaiba” saat ini adalah merupakan simbolisasi atau transformasi dari pasukan perang  Gamrange pada zaman dahulu yang memiliki kemampuan adaptasi terhadap situasi dan kondisi medan perang apapaun, dan atau memiliki kemampuan dapat melakukan penyamaran untuk tidak dikenal rupa/raganya pada saat  menyerang musuh.  Tarian Cukaiba memiliki daya magis dan mistis.

Awal Mula Perpaduan Cukaiba dalam Tradisi Maulid 

    Perpaduan (Integrasi) Cukaiba sebagai simbolisasi dan transformasi pasukan perang bertopeng ke dalam tradisi Maulur memperingati Maulid, dikisahkan bermula dari misi siar Islam yang dilakukan 3 orang raja bersaudara, yaitu  Raja Maba, Raja Patani dan Raja Weda di penjuru daratan Halmahera yang bertepatan dengan 12 Rabiul Awal. Ketiga Raja tersebut adalah anak cucu dari Mar-Mar Amin (Syekh Amin) dari Bagdad-Irak yang berjuang menyiarkan Islam di Halmahera Belakang (Wilayah Maba, Patani dan Weda) pada abad ke-8. 

     Dikisahkan Syekh Mar-Mar Amin menikah dengan seorang putri setempat dikaruniai 4 (empat) orang anak, yakni Burtanga (Putra Sulung/Raja Maba), Burnabi (Putra Kedua/Raja Patani), Burfa (Putra Ketiga/Raja Weda), Kuffa (Putri Bungsu). Mereka melanjutkan jejak Ayah mereka, dengan melanjutkan siar Islam. (Lihat: Dheni Tjan,Rubrik Opini Malut Post, 2 Juli 2016).

     Suatu ketika perayaan Maulid Nabi secara bersama di Patani, lalu Raja Maba, Raja Patani dan Raja Weda berembuk untuk melakukan siar Islam ke tempat lain di Halmahera. Mereka membagi tiga zona untuk penyebaran Agama Islam. Mereka akhirnya berpisah dan pergi menyiarkan Islam sambil merayakan Maulid Nabi di tempat/lokasi sasaran siar Islam. Dalam perpisahan itu, mereka saling berbalas syair pantun, bobeto, kabata, dan dola bolo untuk saling mengingat antara satu dan lain dan saling memberikan motivasi dan semangat (spirit)  agar tetap tegar dalam menegakkan Dinul Islam di Bumi Persada Halmahera.  Karena wilayah sasaran misi siar Islam saat itu tergolong keras dan  rawan, maka dalam misi siar Islam Raja-Raja tersebut mengikutsertakan Pasukan Perang “Cukaiba” sehingga siar Islam yang dilakukan dalam Bulan Raibul Awal saat itu disamping merayakan Maulid Nabi juga disertai atraksi tarian perang oleh Pasukan Perang Cukaiba agar mendapat perhatian warga di daerah obyek sasaran siar Islam. Model siar Islam ini, dapat dikatakan seperti siar Islam yang dilakukan Mubalik-Mubalik Arab yang menggunakan tarian perang seperti “dabus” sebagai instrumen siar Islam di daerah yang dianggap keras dan rawan. Dari kisah momentum itulah, terbentuk suatu model Perayaan Maulid Nabi disertai dengan atraksi/tarian adat pasukan perang Cukaiba, yang kemudian menjadi suatu tradisi dalam perayaan Maulid Nabi sampai saat ini.  

     Simbolisasi pasukan perang bertopeng yang tidak dikenali persis wajah dan rupa raga orangnya, yang akhirnya mengilhami lahirnya penyebutan atau istilah di masing-masing tiga daerah. Dalam dialeg Maba disebut “ Ipa Ice”, dialeg Bicoli disebut  “Cunga Ipa”, Patani menyebut Ta Ipa, dan dialek Weda disebut Cogo Ipa. Masing-masing penyebutan itu  bermakna sama, yang artinya : “itu bukan dia yang sebenarnya” (maksudnya hanya sebagai penyamaran). Dari kata “Cunga Ipa” (Bicoli) dan Cogo Ipa (Weda) kemudian bergeser  penyebutannya menjadi cuka iba dan atau coka iba yang yang penyebutannya digunakan sampai saat ini. 


Bentuk Cukaiba

     Sebagai simbolisasi dan transformasi dari pasukan perang bertopeng, cukaiba adat terdapat tiga bentuk berdasarkan kekhasan tiga daerah Gamrange. Yaitu; Cukaiba Ai (terbuat dari kayu/Pimpinan semua Cukaiba) milik Raja Maba dan Bicoli, Cukaiba Gome (terbuat dari pelepah batang pohon sagu) milik Raja Patani dan Cukaiba Loyeng (terbuat dari anyaman daun pandan) milik Raja Weda dan Samola. Ketiga jenis cukaiba itu bisa dimunculkan bersamaan di masing-masing wilayah Gamrange, bahkan bentuk topeng Cukaiba dapat dimodifikasi dan dihiasi dengan berbagai macam simbol mahluk hidup di muka bumi ini. 

Jumlah Cukaiba Ai/kayu, untuk Sangaji Maba dan Sangaji Bicoli masing-masing sebanyak 13 orang, yang disesuikan dengan jumlah pasukan perang yang terjun ke medan perang. Jumlah 13 orang adalah jumlah yang disesuaikan dengan angak 13 rakaat dalam shalat. Sebanyak 12 orang yang turun nampak langsung ke medan perang, sedangkan yang satunya merupakan orang (petua adat) yang tidak nampak terjun dilapangan, beliau ini yang melakukan ritual mengeluarkan pasukan dari rumah (markas) secara adat dan selalu siap siaga dirumah (markas) dengan senantiasa membantu pasukan dari jauh dengan berzikir dan berdo’a. Bentuk bagian yang menutupi muka diukir dan dihias menyerupai topeng. Bagian ujung atasanya dihiasi rambut buatan dari ijuk enau yang hitam, dan orangnya mengenakan pakaian panjang (jubah).

   Kemudian cukaiba gome dan cukaiba loyeng, yaitu cukaiba yang merupakan pasukan prajurit. Jumlah cukaiba ini untuk setiap kesangajian Patani dan Weda semula berjumlah 99 orang yang melambangkan Asmaul Husna. Cukaiba ini sesuai adat mengejar-ngejar dan memukul dengan rotan kepada siapa saja yang dijumpai berada di luar rumah pada siang hari yang sedang tidak memakai cukaiba. Pakaian panjang (jubah) atau pakaian ala perempuan yang dipakai menutup tubuh dari ujung kaki sampai ujung rambut.


 Simpul Prosesi  Perayaan Maulid 

    Perayaan Maulur (Maulid) di Haltim-Halteng biasanya dirayakan selama 1 hari atau 3 hari atau selama 7 hari tergantung kesepakatan bersama oleh pemangku kepentingan setempat. Ambil contoh perayaan Maulid di Bicoli-Haltim. Pada bulan Shafar (bulan sebelum Rabiul Awal), nuansa Maulidan sudah mulai terasa. Bulan Shafar disebut sebagai “Ngo Adakat Maulur” (bulan mendekati Maulid). Pada bulan Shafar para Pemuka Agama, Pemangku Adat, Pemerintahan Desa dan Tokoh Masyarakat berembuk perihal perayaan Maulid. Dalam bulan Shafar dikabarkan kepada warga termasuk yang berada diseberang (di kebun/melaut) untuk bersiap-siap dalam rangka perayaan Maulur. Jika ada warga terlambat kembali ke kampung dalam perayaan  Maulur, diberikan sanksi adat berupa denda atau penyitaan barang tertentu oleh Cukaiba Adat dan dibawah ke Kepala Adat. Pada konteks ini, dapat dikatakan perayaan Maulidan menghidupkan  tradisi adat, sekaligus penegakan hukum adat. 

     Acara perayaan Maulid sendiri dilakukan pada siang hari dan malam hari. Mengawali hari pertama perayaan bisanya didahului dengan pada waktu saat lepas Shalat Shubu dini hari (jam 5 -7 pagi) cukaiba kayu yang berjumlah 12 orang, dikeluarkan oleh pemangku adat mengelilingi kampung pertanda perayaan maulid dimulai pada hari itu. Keliling kampung sebanyak tiga kali bila dirayakan selama tiga hari dan keliling sebanyak tujuh kali bila dirayakan selama tujuh  hari. Pada setiap sore hari 12 cukaiba ini juga keluar mengeliling kampung sebanyak satu kali mengingatkan warga untuk jangan lupa pada malam harinya pembacaan zikir, sarafal’anam, barajanji dan pembacaan riwayat Nabi di tempat yang telah ditentukan/disediakan.   

     Pada siang hari pagi sampai sore, cukaiba akan memukul setiap orang yang didapatinya diluar rumah tidak memakai cukaiba. Cukaiba akan mengingatkan warga untuk siang hari tetap di dalam rumah sebagai wujud syukur atas kelahiran Nabi. Ada juga cukaiba garap (cukaiba pembuat lucu) mengelilingi kampung melukan pertunjukan lawak atau membuat lucu untuk mengundang tawa dan rasa suka cita-bahagia dalam perayaan hari kelahiran Nabi. Pada siang hari juga dimeriakan dengan atraksi tarian cakale dan sore harinya dilakukan upacara pemotongan ayam (disebut : tekele maulur) yang nantinya untuk alakadar pada malam hari. 

     Pada malam hari sampai dengan waktu subuh, dilakukan pembacaan zikir, sarafal’anam, barajanji dan pembacaan Riwayat Nabi secara berjamaah diiringi bunyi rebana, dan cukaiba menari-nari gembira. Jika dirayakan sederhana maka tempat perayaan di dalam Mesjid, tetapi bila dirayakan secara besar-besaran maka biasanya dibuat sabua (ruangan) memenjang di jalan dekat Mesjid yang di dalamnya diatur berjejer memanjang meja dan kursi. Acara pada malam hari juga tergolong unik dimana mereka yang membaca riwayat nabi adalah terdiri dari kaum laki-laki yang tetap berpasangan duduk berhadapan dengan pasangan yang sama dari malam pertama hingga malam terakhir. Duduk berhadapan/ berpasangan ini di Patani dan Weda disebut “Fanten”, di Bicoli/Maba disebut “Fekela”. Pasangan yang duduk berhadapan ini akan secara bergiliran menyajikan alakadar mereka pada malam hari sampai malam terakhir. Malam 12 Rabiul Awal adalah puncak perayaan. Bila tiba hari dimana parayaan Maulidan telah selesai, maka pada pagi dini hari setelah subuh, cukaiba kayu mengelilingi kampung memberitahukan warga bahwa Maulid telah selesai, dan warga sudah bisa dapat beraktifitas seperti biasa. 

     Praktis perayaan Maulid Nabi di Haltim-Halteng selain menggambarkan siar Islam, juga melahirkan suasana ukhuwah Islamiyah, jalinan tali silaturahmi, semangat persuadaraan yang kokoh, gotong royong dan kebersamaan (egaliterian) yang selalu terjaga, serta mengandung filosofi Fagogoru. Untuk saat ini, cukaiba telah ditransformasikan/dikembangkan tidak saja tampil pada momen Maulid, tetapi juga diperankan pada momen-momen tertentu seperti pada penjemputan pejabat atau tamu-tamu agung yang datang, juga dalam upacara dan iven tertentu. 

Hemat Penulis, tarian cukaiba ataupun tarian khas lainnya di Gamrange, sebaiknya segera dipatenkan Pemda setempat sebagai hak cipta intelektual Gamrange agar tidak diklaim milik pihak lain. Secara kontemporer, pentas tarian cukaiba yang yang melibatkan banyak orang, dapat dikembangkan dalam bentuk karnaval setiap tahun, tanpa menghilangkan bentuk dan makna asli cukaiba sebagai manusia bertopeng yang menyeramkan.


                                    Ternate, 4 Juni 2021

                                                Penulis          

       

                                   Dheni Tjan, SH.,M.Si


Catatan :

Tulisan ini pernah di Terbitkan Malut Post Edisi, 14 Januari 2017

Komentar