JEJAK SULTAN ZAINAL ABIDIN DI HAL-TIM

Oleh : Dheni Tjan, SH., M.Si

(Pemerhati Sejarah dan Sosial Budaya)


"Orang Pribumi (Gamrange), dalam Perang, Ia sangat pemberani. Ia berjuang keras mewujudkan harapannya dalam pertempuran". (J.P.C.Cambier, 1822-1827)”.


“WOSO (MABA). Ibukota Tidore di Maba”, itulah frase-kalimat sebagai sub judul dari BAB VII halaman 183 dalam buku hasil disertasi karya Prof.Dr.R.Z.Leirissa, Guru Besar Sejarah UI, dengan judul “Halmahera Timur dan Raja Jailolo: Pergolakan Sekitar Laut Seram Awal abad 19, Penerbit Balai Pustaka,1996”,Cetakan Pertama. Pada awal mula Penulis membaca sekilas frase-kalimat tersebut, muncul pertanyaan dibenak, apa maksud frase-kalimat tersebut. Setelah membaca isi uraiannya diketahui yang dimaksud adalah “Woso” atau Bicoli-Maba di Halmahera Timur (Haltim) menjadi Pusat Kekuasaan Sultan Tidore, Sultan Zainal Abidin tahun 1807-1810. 

Woso adalah nama lain (nama tradisional) dari “Bicoli”. Kata “Woso” secara etimologi-bahasa setempat diartikan; “Tempat hijrah untuk terhindar/terlindung dari kejaran/serangan musuh”. Kalau dalam bahasa Sanskerta, Woso artinya “Kekuasaan”. Bicoli merupakan salah satu wilayah Kesultanan Tidore, dan dalam struktur Kesultanan dipimpin oleh seorang Sangaji, yaitu Sangaji Bicoli dilengkapi perangkat bobato setingkat kesangajian, dan dikenal memiliki armada kora-kora yang khas berbentuk bulan sabit dan memakai pelpol seslo (tenda merah).

Kiranya tidak berlebihan, dalam tulisan ini dielaborasi tentang Negeri “Woso (Bicoli-Maba)” pada masa Sultan Zainal Abidin, sebagai spirit dan motivasi bagi generasi penerus. Juga sebagai refleksi 211 tahun lalu (November 1805-November 2016) Zainal Abidin naik tahta menjadi Sultan Tidore, dan 210 tahun lalu Sultan Zainal Abidin hijrah ke Wilayah Gamrange. 


Pusat Kekuasaan Sementara

    Pasca Wafatnya Sultan Nuku 14 November 1805, Zainal Abidin yang naik Tahta Tidore (1805-1810). Setahun setelah Sultan Zainal Abidin menduduki tahta Tidore (November 1806), Gubernur Belanda, Wieling menyerang Sultan Zainal Abidin yang dianggap melindungi Muhammad Arief Billa, Sultan Jailolo. Sultan Zainal Abidin bersama pengikutnya lalu hijrah ke Weda dan ke Patani, terkahir ke Bicoli yang dikenal juga sebagai Bandar Pala. Melalui pelabuhan Bicoli, Sultan Zainal Abidin intens dagang rempah-rempah dengan EIC-Inggris. Rempah-rempah dibarter dengan senjata/mesiu dari Inggris.(R.Z.Leirissa 1996).

    Ketika Sultan Zainal Abidin masih di Weda, sebagian besar rombongan Pro-Tidore telah duluan hijrah (menetap) di Bicoli (Muridan Widjojo,2013). Menyusul kemudian Sultan Zainal Abidin serta banyak pengikutnya hijrah ke Bicoli, ketika pada Bulan Mei 1807 Belanda mengejar mereka di Weda. Sejak itulah Sultan Zainal Abidin menjadikan Bicoli (Woso) sebagai pusat kekuasaannya untuk mempertahankan kedudukannya di Kesultanan Tidore (R.Z.Leirissa, 1996). 

    Meski para bobato dan bangsawan yang tinggal di Tidore dipaksa Belanda menerima perjanjian bahwa selama sultan yang baru belum dilantik, Tidore berada langsung di bawah pemerintahan Gubernemen-Belanda, tetapi sejak hijrah ke Haltim sampai 1810, Zainal Abidin tetap muncul sebagai Sultan Tidore yang nyata, (M.Adnan Amal, 2003). Secara de facto dan de jure Zainal Abidin tetap Sultan Tidore, dan Pemerintahan Kesultanan Tidore “diselenggarakan” (exercise of power) di Bicoli (Woso) selama 3 (tiga) tahun (1807-1810). Seperti tertulis dalam surat para Bobato Negeri Woso tertanggal 16 Februari 1809 “Negeri Tidore ada di Woso” (Kotak Ternate 116 ANRI). Surat tersebut, memberi sinyal bahwa Pemerintahan Sultan Zainal Abidin di Kesultanan Tidore tetap eksis dan bermarkas di Bicoli (Woso). Kini dari susunan (urutan) Sultan Tidore yang memerintah, Sultan Zainal Abidin memang diakui memerintah tahun 1805-1810.

   Di Bicoli (Woso), Sultan Zainal Abidin, menyusun strategi dan membangun benteng berupa tembok lurus setinggi sekitar 1,5 meter yang dikonstruksi dari batu kerang dilapisi dengan perekat kapur “kalero” (hasil bakaran batu kerang). Di perbukitan terdapat tiga benteng, dan satu di arah laut. Salah satu benteng berfungsi sebagai Kadato dan dijaga pasukan dilengkapi sebuah rumah dan meriam caliber 1 pon, (R.Z.Leirissa 1996).   

   Di era Sultan Zainal Abidin, Bicoli (Woso) digempur Belanda sedikitnya lima kali. Dua kali di tahun 1807, dua kali tahun 1808 dan satu kali tahun 1809. Serangan gabungan Belanda-Ternate selama berbulan-bulan dan terbilang terdahsyat sepanjang sejarah di kawasan itu, empat kali gagal dipimpin Letnan Herder, satu kali gagal dipimpin Kapten Heyes, dan Pasukan ditarik karena menolak melanjutkan serangan, alasannya Woso terlalu kuat.(Kotak Ternate 12,122,116,ANRI). 

Langkah Sultan Zainal Abidin hijrah menjalankan kekuasaan di Bicoli, hemat penulis, terobosan strategis menghindari kevakuman kekuasaan (vacuum of power), dan untuk mengorganisir dukungan Gamrange agar kelak survivalitas balik ke Tidore melawan Belanda. Dapat pula dikatakan suatu pilihan terhormat, lebih baik hijrah, dari pada tunduk terhadap Belanda. Setidaknya langkah tersebut menyelamatkan Sang Sultan agar tetap sempurna dalam ketidak sempurnaannya. Suatu hijrah yang pernah dilakukan Nuku di abad ke-18, tidak tunduk kepada Belanda, merebut Tahta Kesultanan Tidore juga mengorganisir kekuatan Gamrange. 

    Patut diapresiasi perjuangan Sultan Zainal Abidin, meskipun sejak November 1806 tidak lagi bermarkas di Pulau Tidore, tetapi kapasitasnya tetap sebagai Sultan Tidore, dan dari Haltim beliau terus membayangi dan melawan Belanda. Suatu situasi pernah dialami Indonesia, ketika Belanda kembali ke Indonesia diboncengi Sekutu, dan keamanan Jakarta terancam, pada 4 Januari 1946 Ibukota NKRI dipindahkan sementara oleh Soekarno ke Yogyakarta. 

Pada Bulan Juli 1810, Sultan Zainal Abidin dikabarkan wafat. Ketika itu Pemerintahan Belanda beralih ke EIC-Inggris. Pada 24 Januari 1811, EIC mendukung Muhammad Taher (Prins Mossel) menjadi Sultan Tidore (1811-1831). Jamaluddin memberontak karena merasa lebih berhak atas Tahta Tidore. Pada 6 Maret 1815, EIC mengeluarkan keputusan, Jamaluddin diakui sebagai “Sultan Muda” dan diberikan otoritas penuh di Wilayah Gamrange. Sultan Muhammad Taher dilarang mencampuri urusan di Wilayah Gamrange. (R.Z.Leirrisa,1996).

  Praktis, Wilayah Gamrange semacam mendapat Otonomi Khusus dibawah kendali Jamaluddin. Pada tahap ini, setidaknya “otonomi khusus” ala Kesultanan Tidore ini, akan sangat menarik bila ditelaah lebih lanjut, karena bisa inspiratif dalam upaya bangsa Indonesia modern terus menerus menemukan format terbaik hubungan pusat-daerah (desentralisasi).


Situs Sejarah “Lolos Woso”

  Perbukitan “Lolos-Woso” yang terletak sekitar 1,5 Km belakang Kota Bicoli, dan tipikal topografinya unik penuh tebing terjal sehingga hanya satu arah jalan untuk menjangkau puncaknya itu, masih tersimpan situs pemukiman (kota) dan perbentengan zaman kuno (zaman Momole Mancabo) dikonstruksi dari susunan batu-batu gunung, yang pernah dimanfaatkan di zaman Portugis, zaman Nuku, dan zaman Sultan Zainal Abidin sebagai pemukiman dan pusat pertahanan. Juga terdapat pecahan piring porsenil kuno yang masih bisa terlihat sampai saat ini.  

  Di Puncak Lolos Woso, pada kondisi tertentu ada warga setempat melakukan ritual Femon (pensaktian diri), dikaitkan dengan dimensi supra-natural-kekuatan gaib. Penalaran adanya kekuatan gaib dikolaborasi dengan ritual Femon, mengutip pandangan Aguste Comte (1798-1852), sebagai simbolisasi dari keinginan manusia membangun harmoni dengan kekuatan lain diluar kekuatan manusia di kosmos alam raya ini, (Soerjono Soekanto, 1990). Bisa jadi ritual Femon ini juga memberikan energi semangat juang, sehingga memungkinkan Bicoli menjadi pusat kekuasaan/pertahanan, serta sanggup bertahan dari gempuran musuh.

 Situs Benteng “Lolos Woso”, saat ini mungkin satu-satunya tempat masih terdapat jejak peninggalan Nuku dan Zainal Abidin di luar Pulau Tidore, sebagai bukti kedikdayaan dan kejayaan Kesultanan Tidore masa lalu. Di Selatan Kota Bicoli ada bukit kecil terdapat makam Sultan Zainal Abidin (Kolano Pulang Maba). 

  Sebagai Bangsa besar yang menghargai jasa para pahlawan, tidak mesti hanya menghargai dan merawat situs benteng peninggal kolonial, tetapi juga situs benteng hasil karya leluhur seperti situs perbentengan di Bicoli (termasuk Lolos Woso), yang patut mendapat perhatian dari Pemerintah dan Balai Cagar Budaya (BPCB). Semoga !!!



Catatan :

Tulisan ini pernah di Terbitkan Malut Post, Edisi 22 November 2016

Komentar