SEPENGGAL CERITERA KAUM MUDA

(Mengungkap Keterputusan Genealogi Kaum Muda Dalam Antipatik Persoalan Bangsa)

Oleh : M. Azrul Marsaoly
Kader HMI Komisariat FKIP UNKHAIR


LiputanHalmahera.com - Tetesan darah dan keringat yang berinkarnasi dalam semangat solidaritas dan kebangsaan  kaum muda yang berjatuhan ditempat mereka dilahirkan dan berpijak untuk mewujudkan bangsa yang bersatu dan berkedaulatan, menjadi bukti akan kecintaan terhadap bumi pertiwi Negara Kesatuan Republik Indonesa (NKRI). Dengan cinta dan cita-cita, rasa dan karsa, cipta dan karya maka lahirlah suatu gagasan revolusioner dan sebuah daya upaya untuk melanggengkan dan memupuk  semangat heroik serta nasionalisme kaum muda dari beragam ras, suku, budaya dan agama (Pluralitas) serta upaya melepaskan belenggu ketertindasan kaum kolonialisme. Sungguh, ikhtiar dan gerakan untuk mempersatukan beragam ide dan gagasan primordial itu banyak memuat pesan historis dan filosofis dengan syaratnya imajinasi pikiran yang mengingatkan kita pada suatu peristiwa sakral, yaitu sepenggal kisah yang mengungkapkan di mana seluruh pemuda Indonesia dengan kesadaran sebagai tonggak estafet dan kekuatan genuine masyarakat, bangsa dan negara berupaya menggalang persatuan dan berusaha adanya keselarasan  dalam hal gagasan, persepsi, dan tujuan agar hendak menumpaskan tindakan opersif dan keluar dari kungkungan kolonialisme dan imprealisme. Usaha persatuan itu tidak terlepas dari peran para founding father kita yang sangat berantusias menyonsong sebuah kemerdekaan dikala itu. Langkah persatuan pertama dimulai dengan didirikannya RADICAL CONSENTRATIE.

Tetapi seiring berjalannya usaha tersebut, perjuangan itu mengalami kekandasan dan kemandetan secara pasif, namun kemudian pada tahun  1927 atas inisiatif sang proklamator Ir. Soekarno maka didirikanlah Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) yang didalamnya tergabung beragam organisasi-organisasi pergerakan diantaranya PNI, Partai Sarikat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Sarikat Sumatra, dan Kaum Betawi yang bertujuan menyebarkan dan mendalamkan rasa persatuan serta menyatukan cara aksi untuk mecapai cita-cita nasional. Alhasilnya pada peristiwa 28 Oktober 1928 yang keramat menjadi bukti bersatunya seluruh pemuda (Jong Java, Jong Silebes, Jong Maluku, Jong Tapanuli dll-Peny) di seantero jagat Indonesia yang berikrar dan bersumpah satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa untuk mewujudkan cita-cita nasional yang telah lama tertanam dalam jiwa masyarakat Indonesia.  Peristiwa ini menyiratkan semaraknya kaum muda dan bergeloranya semangat kemerdekaan yang terus membara dalam sukma, agar hendak menjadikan spirit perjuangan sebagai urat nadi dalam perheralatan kebangsaan yang tak kunjung usai.

Upaya menggalang persatuan ini  berangkat dari semangat nasionalisme dan patriotisme yang terpatri dalam sukma kaum muda, yang menginginkan suatu kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Spirit nasionalis dan patriotis tersebut, tergerak akan kondisi kebangsaan serta sosio-kultural bangsa Indonesia yang saat itu tengah dalam kungkungan kaum kolonialisme dan imprealisme barat. Namun dengan ketulusan dan semangat serta keberpihakan pada nasib rakyat dan masa depan Indonesia, maka tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 harapan yang telah lama dinantikan dan didambakan menjadi sebuah kebahagiaan bersama bagi masyarakat Indonesia dengan diproklamirkannya proklamasi sebagai wujud kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan semangat juang dan loyalitas untuk mewujudkan sebuah nation state telah menjadikan kaum  muda sebagai agen perubahan yang akan senantiasa dikenang, digenggam, dan dijadikan semangat perjuangan bagi generasi masa kini dan masa depan Indonesia. Ada salah seorang rohaniawan, Frans Magnis Suseno mengemukakan perihal pentingnya spirit perjuangan yang hendak dijadikan acuan serta landasan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, ialah maklumat kaum muda dalam mengikrarkan dan memberikan satu persaksian kebangsaan atau yang kerap disebut “Sumpah Pemuda” karena didalamnya terkandung nilai-nilai pesatuan (nasionalisme) dan persamaan (egaliternism).

Ironisnya, pandangan yang dikemukakan oleh seorang rohaniawan asal Indonesia ini berbalik harapan dengan apa yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Yakni, kesejahteraan dan keharmonisan dalam bermasyarakat baik hidup berbangsa maupun bernegara tanpa memandang suku, ras, budaya, etnis dan agama.  Namun realitas faktualnya adalah kaum muda atau kerap disebut generasi muda dalam menjalankan kewajibannya sebagai warga negara kerap kali mempraktekan perilaku sosial yang hendak akan merusak tatanan sosial kebangsaan dan kenegaraan, akibat dahsyatnya kekuatan primordial (suku) yang nyaris dijadikan sebagai ideologi perjuangan baik secara politis maupun ekonomis, serta lahirnya paradigma yang senantiasa bertumpuh pada ideologi organisasi yang digeluti. sehingga mengabaikan akan pergerakan kaum muda 92 tahun silam yang ditandai dengan semangat nasionalisme dan adanya integralistik ide serta gagasan atau yang kita kenal dengan gerakan pemersatu bangsa.  Tidak hanya itu perihal antipatik kaum muda terhadap persoalan bangsa yang semestinya menjadi tanggung jawab bersama, sebagaimana pesan sang putra fajar Ir. Soekarno “Saya lebih senang dengan pemuda yang duduk dengan secangkir kopi dan sebatang rokok lantas memikirkan persoalan bangsa, daripada pemuda kutu buku yang duduk melingkar namun bangunan diskursusnya tidak menyentuh akan persoalan bangsa”. Dari pesan dasar ini dapat kita ambil makna filosofisnya yang menyerukan setiap anak bangsa seyogiyanya tenggelam dalam wacana kebangsaan agar hendak menjadi tulang punggung bangsa dan negara. 

Namun mirisnya, ditengah carut marutnya tantangan dan problema kenegaraan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, baik lilitan hutang yang begitu banyak dan pernyataan kontroversial Sukmawati Soekarno Putri yang membandingkan baginda Rasulullah SAW dengan sang proklamator mendiang Ir. Soekarno. ada juga masalah yang lebih serius yang dihadapi bangsa Indonesia yang turut melibatkan kaum muda dalam merespond akan hal itu, yakni upaya disintegrasi dengan dilakukannya gerakan separatis sebagai bagian dari NKRI. Sangat menyayangkan jika kaum muda yang dahulunya bersusah payah membangun gerakan satu kesatuan utuh bangsa Indonesia dari sabang sampai merauke dan mengagregasi seluruh pikiran rakyat Indonesia dengan semangat nasionalisme demi mewujudkan cita-cita nasional, dikhianati oleh kaum muda yang juga mengambil bagian dalam upaya disintegrasi tersebut. Dengan upaya ini dapat disimpulkan bahwa rusaknya sebuah bangsa dan negara tidak hanya karena diakibatkan oleh sistem dan kebijakannya namun juga individu yang menjadi dalangnya, sebagaimana yang dikemukakan seorang tokoh asal jepang Kenichi Ohmae bahwa rusaknya sebuah negara dan bangsa disebabkan karena empat “I” yakni investasi, industri, informasi, dan individu. Namun pada ulasan ini saya lebih menilik pada persoalan individu yang juga menjadi pendorong stabilitas jalanya sebuah negara. Akhirnya kaum muda dengan spirit persatuan dan nasionalisme yang senantiasa tersemat dan mengalir dalam jiwanya harus menjadi khitah perjuangan dalam setiap langkah geraknya.
“Jika engkau tidak dikenal seperti anak seorang raja, konglomerat, dan pejabat kenegaraan maka menulislah sebab dengan menulis engkau akan lebih dari anak dan ketiga orang sukses tersebut”. Imam Al-Ghazali

Komentar