MAHASISWA DALAM NESTAPA BIROKRASI KAMPUS

(Menggugat Pembungkaman Terhadap Hak Demokrasi Mahasiswa)

Penulis : M. Azrul Marsaoly
Mahasiswa PKn Universitas Khairun


LiputanHalmahera.com -   Tahun telah berlalu, hari berganti rupa, dinamika redup seketika, pembungkaman merajalela di seantero jagat akademik, mahasiswa teraniaya, gelagak birokrasi mencerminkan wajah demokrasi bak monokrasi. Itulah Demokrasi rasa Monokrasi nan Tiranik.

Sejarah pergerakan mahasiswa 21 Mei 1998 yang ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru atau kerap disebut orba, telah banyak melukiskan jejak dan peran mahasiswa sebagai tongkat estafet reformasi dalam menyuarakan kedaulatan rakyat. Mahasiswa yang didaulat sebagai Agen Of Change, Agen  Of  sosial, dan  Agen Of  Control merupakan keniscayaan amanah dalam melibatkan dirinya dan ikut serta mengisi pembangunan bangsa dan negara. Keterlibatan mahasiswa dalam mengisi pembangunan bangsa dan negara tidak terlepas dari tanggung jawabnya yang kerap disebut sebagai masyarakat ilmiah dengan rasionalitas berfikir dan gagasan futuristik yang dimiliki.

Lantas bagaimana potret demokrasi kampus saat ini?
Potret demokrasi kampus yang terjadi saat ini cukup menyita perhatian banyak mahasiswa yang pro terhadap demokrasi kampus. Demokrasi yang arti logawiahnya berasal dari yunani Demos dan Cratein yang jika disepadankan dalam bahasa Indonesia ialah “Pemerintahan Rakyat” yang fahwanya pemerintah dibentuk oleh rakyat, sebagaimana konsep terbentuknya negara oleh Thomas Hobbes yang mengemukakan negara terbentuk atas dasar kesepakatan individu-individu yang kemudian disebut teori kontrak sosial. Dari bangunan teori ini dapat kita simpulkan bahwa segala konsensus yang diambil tak seharusnya sepihak tanpa merisaukan hak seseorang apalagi kelompok mahasiswa yang juga bagian dari penyangga Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana yang termaktub dalam pasal 28 E “Bahwa setiap warga negara memiliki hak menyampaikan pendapat, berserikat dan berkumpul”. Namun ironisnya kampus yang merupakan tempat untuk beradu argumen, membongkar cakrawala berfikir yang picik dengan kebebasan berargumen dan benteng pertahanan terakhir masyarakat, seperti yang dikatakan bapak Moh. Hatta “Mahasiswa adalah hatinya masyarakat”  kini seakan menjadi penjaranya mahasiswa yang dapat bersuara namun membisu dengan keluarnya edaran surat keputusan yang mengindahkan kebisuan berfikir dan berargumen. 

Hemat penulis dengan edaran tersebut dapat mencerabut hak demokrasi mahasiswa dan merupakan sebuah malapetaka berfikir yang hendak mengidiot pola pikir, pola laku, dan pola tindak akibat pengekangan yang menjurus pada kebisuan berfikir hingga berimplikasi pada pola laku dan pola tindak mahasiswa.
Kampus yang istilah ilmiahnya ialah akademik jika ditelusuri jauh kebelakang tentu tak lepas dari sebuah kisah klasik. Istilah akademik barangkali berawal dari sebuah perkumpulan belajar yunani kuno yang bernama “Akademia”. Plato, Sokrates, Aristoteles, dkk yang kemudian berada dalam perkumpulan belajar ini berikhtiar menambah khasanah pengetahuan sehingga munculnya teori dialektika-kritis sokratos, yang tidak secara spontan menerima argumentasi yang disampaikan, Plato dengan konsep negara idealnya, Aristoteles dengan silogismenya. 

Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwasanya akademia adalah muara para filsuf untuk belajar, berdialektika, dan beradu argumen. Namun jika di kontekskan di era modernitas saat ini sungguh  miris, kodrat akademik atau yang sering disebut sesuatu yang bersifat ilmu pengetahuan dan bersifat ilmiah kini kehilangan makna yang sesungguhnya. Kebebasan berpendapat yang menunjang lahirnya dialektika-kritis, kesempatan berkumpul dan berserikat kini diberanguskan dengan hadirnya surat keputusan yang membatasi ruang gerak mahasiswa. Akhirnya tetap teguh dalam perjuangan walau badai menerpa sekalipun, sesungguhnya berfikir dan berpendapat ialah fitrahnya manusia. 

Salam


Komentar