MENAPAKI JEJAK ISLAM MASUK DI HALTIM-HALTENG

 

 Oleh : Dheni Tjan

(Pemerhati Sejarah dan Sosial Budaya)


Maba : Kabe aice mo Were te npoloniga fdel mo Were telama. Weda : Jou lawang pane posnie Mauludga kpolengame. Patani : Jou suba kabe fsilinga fpolon meu lama bot pei Maulud na Poton. (dialog Syiar Islam, Leluhur Maba-Patani-Weda”.


   Bukan perkara mudah, menelusuri sejarah masuknya Islam di suatu daerah, termasuk di Halmahera Timur (Haltim) dan Halmahera Tengah (Halteng). Bertitik tolak pada pertanyaan; kapan, bagaimana, dan siapa yang menyebarkan Islam masuk di suatu daerah, bisa dijadikan acuan untuk dilakukan penelusuran. Untuk mengetahui sekaligus menjawab pertanyaan tersebut, sebenarnya dapat ditelusuri dengan didekati pada tiga macam pengertian (teori) masuknya Islam di suatu daerah, seperti yang dikemukakan A.Hasymy (1993). Pertama, memakai acuan bahwa karena suatu daerah didatangi seorang atau beberapa orang pemeluk Islam. Kedua, mengacu pada telah terdapatnya seorang atau beberapa orang penduduk asli setempat yang memeluk agama Islam. Ketiga, bertitik tolak pada realitas bahwa agama Islam telah melembaga dalam masyarakat di suatu daerah. 


Dibawah Oleh Syekh dari Irak.

  Dalam konteks untuk mengetahui awal mula masuknya Islam di Haltim-Halteng, hemat penulis dapat bertitik tolak pada pendekatan pertama seperti dalam A.Hasymy (1993), yakni memakai acuan suatu daerah didatangi seorang atau beberapa orang pemeluk Islam. Dengan pendekatan pertama ini, maka diyakini awal mula Islam masuk di Haltim-Halteng dan sekitarnya pada tahun 700-an Masehi (abad ke-8) yang dibawah oleh dua Syekh dari Irak.

  Asumsi ini berdasarkan tutur sejarah warga setempat dan penelusuran berbagai literatur, seperti yang juga dikemukakan oleh H.Amin Faruk, Jojao Kesultanan Tidore (Malut Post Edisi: 14/6/2016), dan sebagaimana diuarikan oleh Saleh A.Putuhena (1980), sekitar abad kedua Hijriyah (abad ke-8 Masehi), telah tiba empat orang Syekh, yaitu Syekh Mansur, Syekh Yakub, Syekh Amin dan Syekh Umar, yang dikaitkan dengan pergolakan politik-kekuasaan di Irak, ketika golongan Syiah diburu oleh penguasa setempat, baik Bani Ummayah maupun Bani Abbasiyah. Keempat Syekh ini datang menyiarkan Islam. Syekh Mansyur di Ternate dan Halmahera Lengan Bagian Barat, Syekh Yakub di Tidore dan Makean, Syekh Amin dan Syekh Umar di Maba, Patani, Weda, dan sekitarnya. 

     Sejalan dengan cerita tersebut, sumber di Patani mengisahkan ada dua orang Syekh yang diketahui masing-masing bernama Mar-Mar Amin, dan Mar-Mar Daut, yang mula-mula berjuang menyiarkan Islam (menjalankan syariat Islam) di Patani, Maba, Weda dan sekitarnya. Mereka dari Bugdat (Bagdat)-Irak, sehingga orang tua-tua zaman dahulu punya Lefo (Al-Qur’an) disampul atas tertulis “Bugdat”. Syekh Mar-Mar Amin kemungkinan yang dimaksud adalah Syekh Amin, dan tentang Mar-Mar Daut, hemat penulis mungkin yang dimaksud adalah Syekh Umar (Mungkin Daut bin Umar ?), atau bisa jadi Syekh Mar-Mar Daut dan Syekh Umar adalah dua orang yang berbeda. Syekh Mar-Mar Daut dikisahkan tidak lama kemudian kembali dan melakukan Syiar Islam di Aceh-Sumatera dan menetap disana.

 Sedangkan Syekh Mar-Mar Amin dikisahkan tetap Syiar Islam di Maba, Patani, Weda dan nikah dengan seorang putri setempat dikaruniai 4 (empat) orang anak, yakni : Burtanga (Putra Sulung), Burnabi (putra kedua), Burfa (putra bungsu), dan Kuffa (putri paling bungsu). 

   Setelah Ayah mereka meninggal, Burtanga, Burnabi, dan Burfa kemudian mengikuti jejak Ayah mereka dengan melanjutkan Syiar Islam. Burtanga melakukan Syiar Islam di Wilayah Maba dan kelak menjadi Raja Maba, Burnabi melakukan Syiar Islam di Wilayah Patani dan kelak menjadi Raja Patani, Burfa melakukan Syiar Islam di wilayah Weda dan kelak menjadi Raja Weda. Setelah menjadi raja mereka juga menjadi pemimpin yang intens melakukan Syiar Islam. Sedangkan saudara perempuan mereka, Kuffa hanyut terbawa banjir-arus ombak-gelombang laut dan kelak diketahui berada di Makean. 

   Dikisahkan, Syiar Islam yang dilakukan tiga putra tersebut pada saat itu dominan mengajak orang-orang masuk Islam. Untuk mengetahui perkembangan syiar Islam terutama siapa yang lebih banyak berhasil mengajak orang masuk Islam, maka disepakati pada setiap momentum Maulid Nabi mereka bertemu sambil merayakan Maulid Nabi. Perayaan Maulid Nabi kemudian menjadi sebuah tradisi saat ini di Maba, Patani dan Weda yang dikenal dengan sebutan “Maulur” (hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal).

   Tentang pelarian empat Syekh dari Irak ini, dikaitkan dengan sinyalemen Fatimi tentang orang-orang Arab-Shiyah di Champa, pengikut Abdullah bin Muawiyah, yang melarikan diri karena dikejar-kejar Amir bin Dubora, jenderal Bani Umayah yang jadi musuh mereka, (Algadri, dalam Cornelis Lay,dkk, 2001). Cerita pelarian empat Syekh ini, juga kiranya tidak berlibihan, banyak bukti jauh sebelum Islam lahir, sudah banyak orang bermukim disepanjang rute perdagangan jalur sutera. Bahkan Saudagar Arab dan Persia masuk ke wilayah nusantara sejak abad pertama Masehi, dan abad ke-7 mereka telah menganut Islam, di Maluku baru ada pemukiman pedagang muslim abad ke-11, tak lama kemudian di ditemui di Jawa, Borneo Utara, Palembang dan Aceh, (Samodra Wibawa, 2001).  

    Selain Syekh dari Irak, para Saudagar Arab (Hadramaut), Persia, Gujarat-India, dan China yang kala itu terbawa arus jalur perdagangan rempah, diyakini juga mendatangi Haltim-Halteng sebagai kawasan yang dekat dengan bandar-perniagaan cengkeh seperti Halmahera Barat, Ternate, Tidore, Makean, dan Bacan. Apalagi merujuk dalam R.Z.Leirissa (1996), Haltim-Halteng juga dikenal sebagai penghasil (bandar) rempah-rempah di masa lalu. Bahkan dalam Willard A. Hanna & Des Alwi (1996), bibit pala dan cengkeh yang ditanam pertama kali di Eropa-di Istana Perancis dan tersebar sampai di Sansibar dan negara jajahan Perancis lainnya ternyata diselundupkan dari Maba-Patani-Weda dan Gebe pada tahun 1770. Kalau merujuk sinyalemen Asyumardi Azra tentang faktor-faktor utama penetrasi Islam diberbagai wilayah Nusantara, kedatangan para saudagar asing pemeluk Islam tersebut ke Haltim-Halteng, selain hubungan dagang dan berinteraksi dengan penduduk setempat, juga hubungan itu kemudian dilanjutkan pada hubungan religio-politik dan intelektual keagamaan.

    Kedatangan para Saudagar Arab,Gujarat, Persia dan China di Haltim-Halteng zaman dahulu, dapat dibuktikan dengan fakta saat ini ada warga masyarakat setempat yang moyangnya berasal dari Arab/Persia/ India/China. Bahkan bukti-bukti seperti pecahan-pecahan keramik-guci-piring porsenil yang oleh warga setempat disebut “Gow Farang”, ada yang ditemukan di permukaan tanah-dalam tanah di lokasi tertentu di pesisir, pemukiman, gunung/bukit dan goa-goa. Ada guci/piring porsenil yang masih utuh bermotif tulisan Arab dan bermotif China disimpan warga tertentu, sebagai bukti adanya perdagangan-barter rempah-rempah dengan barang bawaan dari Saudagar tersebut pada masa lampau.


Mula-mula Kalangan Bawah dan Menengah.  

    Berdasarkan cerita tersebut di atas, dapat dikatakan Islam masuk di Haltim-Halteng pada abad ke-8 dibawah langsung Syekh dari Irak, tanpa melewati kalangan bangsawan dan mubalik dari Kie Raha atau dari tempat lainnya di Nusantara. Hemat Penulis, ciri-ciri umum Islam masuk di Haltim-Halteng khususnya dan Maluku Utara umumnya, hampir sama dengan ciri-ciri umum Islam masuk di Pulau Jawa seperti yang diuraikan Geertz, yaitu bersifat asimilatif, bukan revolusioner, dan datang ke daerah sasaran mengiringi perniagaan dan bukan untuk penaklukan, (Geertz, dalam Cornelis Lay, dkk,2011). 

    Islam yang dibawah oleh Syekh dari Irak, bila mengikuti pendapat Geertz, mengembangkan pengaruhnya yang terkuat pada kalangan lapisan menengah, yaitu kaum pedagang, dan kelas bawah (kaum petani) dan bukan pada lapisan tinggi (kaum penguasa). Setelah melalui proses Islamisasi yang kuat, maka Islam kemudian terserap ke dalam keadaan patrimonial sehingga para penguasa/pejabat istana mulai memeluk Islam dengan menggunakan gelar-gelar keislaman. 

  Apa yang dikemukakan oleh Geertz tersebut di atas, kiranya tidaklah berlebihan. Seperti diketahui Islam masuk di Haltim-Halteng pada abad ke-8, tetapi setelah anak Syekh Mar-Mar Amin; Burtanga, Burnabi, dan Burfa masing-masing menjadi raja barulah Islam masuk kedalam keadaan Patrimonial. Hal yang sama juga terjadi di Tidore dan Ternate, yang meski Islam dibawah oleh Syekh dari Irak sejak abad ke-8, tetapi sebagaimana dikatakan H. Amin Faruk (Malut Post,14/06/2016) kolano Islam pertama di Tidore adalah Kolano Ciriliyati yang mengganti namanya menjadi Sultan Djamaluddin (1495-1512). Demikian juga seperti di Ternate, Islam baru berkembang pesat pada masa Zainal Abidini (naik tahta 1486), atau merujuk pada Mustafa Mansur (Malut Post,15/06/2016), raja pertama Ternate Baab Manshur Malamo (1257-1277) seorang muslim karena namanya bercirikan Islam. 


Sinyalemen Menguatnya Islamisasi 

    Momentum menguatnya arus Islamisasi di Haltim-Halteng mungkin sama dengan perkembangan Islamisasi di Maluku Utara pada umumnya, sebagai satu-kesatuan kawasan pusat perdagangan rempah-rempah di Timur Nusantara, yang diperkirakan baru berlangsung lebih kuat dimulai pada abad ke-13 ketika para penguasa setempat tertarik memeluk Islam. 

   Menguatnya arus islamisasi di Haltim-Halteng kemungkinan pada zaman dimana Raja Maba, Patani da Weda telah dikenal luas dengan julukan nama depan “rajaman” setelah masing-masing diketahui kepandaian dan kelebihannya. Apalagi Raja Patani dijuluki “Rajaman Kasuro” (raja yang selalu ke Masjid), kemudian Raja Maba dijuluki “Rajaman Kasatrio” (raja yang satria), dan Raja Weda dijuluki “Rajaman Suta Raja Mau Raja” artinya raja pandai berdiplomasi dan berkemaun keras, (lihat juga Dheni Tjan,Malut Post: 4/06/2016). Nama julukan itu dikenal secara luas mungkin setelah orang-orang Melayu intensif berinteraksi dengan Maba-Patani-Weda yang dipimpin generasi berikutnya pada abad ke-13.

    Kedatangan orang-orang Melayu dan Jawa di Kepulauan Maluku diketahui lebih intensif pada abad ke-13, bahkan Maluku mendapat pengaruh perdagangan yang semakin meluas pada saat itu dari dinasti-dinasti Jawa, seperti Singasari (1227-1292) dan kerajaan Majapahit, (dalam Cornelis Lay, dkk,2011).


Peninggalan (Berciri) Islam 

 Peninggalan arkeologi Islam, berupa epigrafi atau naskah-naskah juga diketemukan di Haltim-Halteng. Peninggalan arkeologi Islam tertua, yang berupa mushaf Al-Qura’an kuno, diantaranya dikabarkan juga ada yang tersimpan di Gotowasi-Maba. Telah diketemukan juga beberapa naskah Islami yang berupa doa-doa dan fikih bertuliskan huruf Arab berbahasa Melayu, Arab dan bahasa setempat. 

    Pengaruh Islam juga terdapat pada bahan epigrafi, yakni bahan-bahan tertulis (pada kayu, batu atau logam) yang diketemukan dari bangunan arkeologi. Pada nisan beberapa makam orang penting di daerah ini, misalnya terdapat nisan bertulisan huruf Arab dengan ornamen khas. Tipe nisan semacam ini antara lain seperti pada beberapa waktu yang lalu terlihat pada Makam Kramat di Ujung Selatan Bicoli. 

  Selain itu, ada makam yang nisannya hanya terbuat dari batuan alam, tetapi diketahui warga setempat sebagai makam ulama dimasa silam, seperti Makam Kramat di Pulau Mobon-Maba, Makam Kramat di Tanjung Ngolopopo Patani, Makam Kramat di Pulau Imam-Weda, Makam Kramat di Paga-dekat Tanjung Enggelang, dan Makam Kramat di Lolobata.   

  Bangunan tempat ibadah seperti sigi (Masjid) juga telah ada di Haltim-Halteng sejak zaman dahulu. Pada akhir zaman pertengahan atau pada abad ke-16 ketika Portugis dan Spanyol datang ke Maluku, wilayah ini sudah ada pemukiman yang dilengkapi dengan bangunan Masjid atau Surau. Situasi pada abad ke-17 sampai ke-19 (zaman VOC dan Hindia Belanda) juga dilaporkan setiap unit pemukiman/kampung telah memiliki tempat ibadah seperti yang dilaporkan oleh Campen dalam ekspedisinya, (R.Z.Leirissa, 1996).


Islam dan Budaya Haltim-Halteng

   Islam juga telah masuk dalam budaya (kearifan lokal) Haltim-Halteng. Tradisi di Bulan Ramadhan, adalah salah satu contohnya. Memasuki Bulan Sya’ban yang biasa disebuat “Ngo Adakat Puasa” (bulan mendekati bulan Ramadhan), selain Nifsu Sya’ban, warga juga mulai sibuk mantapkan persiapan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam bulan Ramadhan nanti. Tradisi memukul beduk Tatabua (totobuang) di Mesjid pada sore hari menjelang Magrib sebagai tanda malam pertama sahur segera tiba, tradisi membangunkan sahur, tadarusan, tradisi qunut, tradisi ela-ela pada malam lailatulqadar, dan takbiran juga menambah suasana semarak tradisi (kearifan lokal) yang Islami dalam bulan Ramadhan. Selain itu, ada tradisi “tambaru” dan siraturrahmi antar sesama-saling meminta maaf saat Idul Fitri dan Idul Adha.

  Tradisi Islami juga tercermin dari perayaan Maulid Nabi Muhammad Rasululla SAW. Tradisi perayaan Maulid Nabi ada kaitan dengan Syiar Islam pada masa lalu di Maba, Patani dan Weda. Bila akan ada parayaan Maulid Nabi, maka di bulan Shafar-biasa disebut “ngo adakat maulur” (bulan mendekati Maulid), warga mulai mantapkan persiapan segala sesuatu terkait dengan perayaan Maulid Nabi. Juga betapa istimewanya Maulid Nabi, sehingga bila ada warga yang diseberang dan terlambat datang ke kampung dalam suasana sudah pada hari perayaan Maulid akan diberi sanksi/denda (hukum adat). Sedangkan warga yang ada dalam kampung/kota bila tidak memakai topeng cukaiba dan keluar rumah akan dikejar-dipukul dengan rotan oleh cukaiba karena dianggap saat itu tidak turut memeriakan Maulid Nabi/berkeliaran atau untuk diajak melaksanakan shalat/berzikri/berdoa atau Syiar Islam. 

   Keunikan tradisi perayaan Maulid Nabi diwarnai dengan budaya “fanten atau fekela”” dan tampilnya tarian cungaipa atau cukaiba (pasukan perang bertopeng) yang turut memeriakan Maulid Nabi, sebagai model syiar islam yang menjadi tradisi sampai saat ini. Cukaiba Kayu milik Sangaji Maba dan Bicoli, Cukaiba Gome milik Sangaji Patani, dan Cukaiba Loyeng milik Sangaji Weda-Samola. Khusus cukaiba kayu Sangaji Maba dan Bicoli sedianya masing-masing sangaji berjumlah 13 orang (pasukan inti/cukaiba adat) yang melambangkan rukun 13, (12 orang turun arena dan satunya Petua adat yang tidak turun arena tetapi memotivasi, mengeluarkan cukaiba dan selalu mendoakan). Pasukan anggota prajurit sebanyak 99 orang yang melambangkan Asmaulhusna, serta alat pukul yang digunakan adalah 3 batang sapu lidi. Tarian Cukaiba dalam Maulid Nabi, tampaknya seperti mengikuti jejak mubalik-mubalik Arab yang menggunakan tarian dabus sebagai instrumen siar Islam di daerah yang dianggap keras/rawan. Sedangkan “Fanten atau Fekela” adalah duduk berpasangan/berhadapan secara barjamaah membaca sarafal`anam, barajanji, zikir, dan doa serta membaca riwayat nabi dengan iringan tabuhan rebana pada malam hari. 

   Tradisi bernuansa Islam lainnya adalah, dabus, selamatan kelahiran anak dan hitanan, tahllilan orang meninggal, tradisi pernikahan, qasidah, dan selamatan pergi/pulang ibadah haji. Budaya lainnya yang juga di dalamnya ada nuansa Islami adalah “Tarian Lala” yang mengandung unsur-unsur religius, dimana “Lala” berasal dari kata “Laila” yang dijustfikasi singkatan dari kalimat “Lailahaillallah” (Tiada Tuhan Selain Allah). Kemudian nuansa Islam juga masuk dalam tradisi kora-kora (armada perang), hal mana dapat diketahui dari armada kora-kora Sangaji Bicoli yang didesain berbentuk bulan sabit yang melambangkan perjuangan dengan instrument armada kora-kora juga perjuangan di jalan Allah (Jihad). 

   Tanpa dipungkiri, kehidupan masyarakat saat ini diwarnai juga dengan berbagai dimensi bernuansa Islami. Kini, perkembangan Islam relatif dinamis di Haltim-Halteng. Pengetahuan Islam yang didapat oleh leluhur-leluhur disana sudah tentu diwariskan kepada generasi berikut, sebagai salah satu cara Islamisasi yang terus bergulir mengiringi dinamika zaman. Semoga Islam sebagai “Rahmatanllilalamin” tetap berjaya dan bersinar sepanjang zaman di bumi Fagogoru Haltim-Halteng khususnya dan di seantero bumi, Amin…!!! 


                               Ternate, 8 Juni 2021

                                           Penulis


                               Dheni Tjan, SH.,M.Si


Tulisan ini pernah di Terbitkan Malut Post, Edisi 2 Juli 2016

Komentar