SULTAN ZAINAL ABIDIN SYAH DAN IRIAN BARAT

Oleh : Dheni Tjan, SH., M.Si
(Pemerhati Sejarah dan Budaya)


  Meskipun Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945, dan mendapat pengakuan kedaulatan dari PBB, tetapi awalnya Irian Barat belum disertakan didalamnya, yang menyebabkan kepemilikan Irian Barat menjadi sengketa antara Indonesia dan Belanda. Dalam sidang BPUPKI ditegaskan bahwa wilayah Republik Indonesia mencakup seluruh wilayah bekas Hindia Belanda, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, Irian Barat harus tetap termasuk dalam wilayah NKRI, sehingga muncul upaya perjuangan pengembalian Irian Barat dari tahun 1945 – 1963. 

  Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, tampaknya memahami betapa pentingnya perjuangan pembebasan/pengembalian Irian Barat harus pula melalui pendekatan historis dan sosiokultural serta melibatkan Kesultanan Tidore, karena secara historis Irian Barat adalah bagian dari Wilayah Kesultanan Tidore. Upaya pembebasan Irian Barat yang dilakukan secara diplomasi dan konfrontasi (Politik, Ekonomi, Militer) dan pelaksanaan Pepera, tidak bisa dilepas pisahkan juga dengan peranan Sultan Zainal Abidin Syah, Sultan Tidore yang bertahta tahun 1947-1967.  


Penobatan Sultan Zainal Abidin Syah 

      Pada saat Indonesia merdeka tahun 1945, Kesultanan Tidore masih mengalami kevakuman jabatan sultan sejak tahun 1905 (pasca wafatnya Sultan Qawiyuddin). Seiring perkembangan politik, keamanan, ekonomi, dan sosial budaya pasca Indonesia merdeka, maka pada tahun 1947 menjadi momentum diangkatnya Zainal Abidin Syah sebagai Sultan Tidore, yang turut dinobatkan juga oleh Presiden Indonesia, Ir. Soekarno di Denpasar Bali.

     Presiden mengambil peran menobatkan Sultan Zainal Abidin Syah sebagai Sultan Tidore, dapat dimaknai sebagai suatu ikhtiar-pendekatan dan langkah politik memperluas (merangkul dan membentuk) unsur-unsur kekuatan strategis dalam rangka memperkuat keutuhan kedaulatan NKRI dan strategi menghadapi perjuangan pembebasan Irian Barat. Dalam konteks ini, Kesulatanan Tidore yang secara historis memiliki luas wilayah kekuasaan meliputi sebagian Kepulauan Maluku dan Papua adalah salah satu unsur kekuatan strategis dalam upaya pengembalian Irian Barat, yang tentu sangat diperhitungkan Presiden ketika itu. Presiden Ir. Soekarno, pun diketahui dalam upaya mempersatukan dan menjaga kedaulatan Indonesia ketika itu mengunjungi beberapa daerah di Maluku Utara, antara lain: Ternate, Tidore, Makian, Bacan, Morotai-Halut, Gemia-Patani, dan Buli-Maba Haltim.  

     Mencermati goresan tinta emas sejarah Perjuangan Pembebasan Irian Barat, maka menurut hemat penulis, peran Maluku Utara lebih khusus lagi Kesultanan Tidore dibawah tahta Sultan Zanal Abidin Syah, dalam perjuangan Pembebasan Irian Barat tidak bisa dilupakan begitu saja, bahkan sangat relevan ketika saat ini Pemerintah Kota Tidore Kepulauan dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara mengusulkan Sultan Zainal Abidin Syah untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional. Sebab, tidak bisa dibayangkan ketika itu, apa yang terjadi dan hasilnya seperti apa terkait masalah Irian Barat, kalau saja dalam perjuangan Irian Barat, Sultan Tidore memilih sikap lain.  


Peranan Sultan Zainal Abidin Syah

     Tidak berlebihan kalau kemudian dalam tulisan ini, dikemukakan peranan Sultan Zainal Abidin Syah dalam Perjuangan Irian Barat, yang oleh penulis dianggap peranan yang sangat strategis, memiliki nilai historis tinggi serta mencerminkan semangat nasionalisme dan patriotisme sang Sultan dalam upaya mempertahankan kedaulatan NKRI. Peranan tersebut, antara lain : 

Pertama, Sultan Zainal Abidin Syah, bersikap tegas (sepakat) mendukung Wilayah Kesultanan Tidore menjadi provinsi tersendiri, yang kemudian diumumkan Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1956 dan ditetapkan dengan UU Nomor 15 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat. Sebagai pangkal untuk menyusun kekuatan dalam upaya pembebasan Irian Barat, maka dimasukkan Wilayah Kesultanan Tidore, yakni Tidore, Maba, Patani dan Weda kedalam Wilayah Provinsi Irian Barat. Sesuai pasal 2 ayat (1) UU Nomor 15/1956 yakni : 1) Wilayah Irian Barat pada saat pembatalan perjanjian Konperensi Meja Bundar pada tanggal 21 April 1956 masih berada dalam kekuasaan de facto Kerajaan Belanda tanpa persetujuan Pemerintah Republik Indonesia; 2) Kewedanan Tidore, Distrik Weda dan Patani yang termasuk dalam lingkungan Daerah Maluku Utara. Kemudian diikuti jo.Undang-Undang Nomor 23 tahun 1958 yang memasukkan Distrik Maba juga dalam wilayah Provinsi Irian Barat (The Liang Gie, 1995). Praktis, menjadikan Irian Barat dan Wilayah Kekuasaan Kesultanan Tidore lainnya menjadi provinsi tersendiri adalah langkah politik berbasis sejarah untuk memperkuat justifikasi dan diplomasi klaim Indonesia bahwa secara historis Irian Barat juga wilayah bekas Hindia Belanda yang merupakan wilayah kekuasan Kesultanan Tidore atau bagian dari Nusantara.    

Kedua, Sultan Zainal Abidin Syah bersedia menjadi Gubernur Pertama Irian Barat dari tahun 1956 sampai 1961 sesuai SK Presiden RI No.142/Tahun 1956, tertanggal 23 September 1956, dan sepakat Soasio Tidore menjadi Ibukota Provinsi Irian Barat. Sikap politik Sultan Zainal Abidin Syah tersebut merupakan cermin semangat perjuangan, pengabdian, darmabakti dan karya kepada bangsa dan negara; 

Ketiga, Sultan Zainal Abidin Syah memilih opsi bergabung dengan NKRI (menjaga Kedaulatan NKRI). Integritas dan rasa nasionalisme sang Sultan tidak terbantahkan lagi dengan sikap politik tersebut, karena dalam masa-masa perjuangan Irian Barat, ditawarkannya tiga opsi dari bangsa penjajah, yakni : (1) Tidore dan Irian Barat bergabung dengan Belanda; (2) Tidore dan Irian Barat bergabung dengan NKRI atau; (3) Tidore dan Irian Barat merdeka menjadi negara tersendiri. Opsi yang dipilih oleh Sultan Zainal Abidin adalah Bergabung dengan NKRI atau tetap pada sikap komitmen menjaga kedaulatan NKRI;

Keempat, Sultan Zainal Abidin Syah, mendukung dibentuk Irian Barat gaya baru dengan Putra Irian sebagai Gubernur. Sultan Zainal Abidin Syah, saat itu mendukung Pembentukan Provinsi Irian Barat gaya baru yang ditetapkan dengan penetapan Presiden Nomor 1/1962 dengan ibukota baru Jayapura (pada masa Belanda dinamai Hollandia). Kemudian Sang Sultan legowo tidak lagi menjabat Gubernur Irian Barat dan mendukung Gubernur Irian Barat diangkat dari Putra Irian, demi langkah-langkah diplomasi selanjutnya;

Kelima, Sultan Zainal Abidin Syah mendukung Trikora. Sikap Kesatria Sang Sultan mendukung penuh Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dikeluarkan Presiden Soekarno di Alun-Alun Utara Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961. Isi Trikora tersebut adalah: (1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda; (2) Kibarkan Sang saka Merah Putih di seluruh Irian Barat; (3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa. Dukungan Sultan terhadap Trikora dapat diketahui, antara lain keterlibatan Masyarakat Maluku Utara termasuk masyarakat Wilayah Kesultanan Tidore (Wilayah Tidore dan Gamrange) berjuang bersama TNI (operasi mandala/mobilisasi umum) membebaskan Irian Barat. Sumber di Gamrange mengisahkan saat itu masyarakat Gamrange (masyarakat Sangaji Maba, Bicoli, Patani, Weda-Samola dan Gebe) yang secara geografis relatif dekat dengan Irian Barat, juga berpartisipasi dalam perjuangan pembebasan Irian Barat karena atas himbauan Sang Sultan, dimana dibentuk kelompok-kelompok pasukan dari masyarakat sipil setempat (masyarakat adat kesultanan) dengan kapita/komendan nya masing-masing yang berjuang terjun langsung mendarat ke medan tempur Irian Barat. 

Peranan Sultan Zainal Abidin tersebut, hemat penulis telah memberikan arti penting bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa (keutuhan NKRI) dengan tetap bergabungnya Irian Barat (sekarang Papua) dalam pangkuan Ibu Pertiwi, juga mencerminkan Sang Sultan memiliki komitmen-konsistensi, dan semangat kebangsaan (nasionalisme) yang tinggi, serta menjaga harkat dan martabat bangsa, yang dampak positifnya dirasakan secara nasional. 

  Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sultan Zainal Abidin Syah, yang saat ini telah diusulkan/direkomendasikan Gubernur Maluku Utara, bahkan Kadis Sosial Provinsi Maluku Utara telah membawa dokumen usulan dan diserahkan langsung kepada Direktur K2KRS Kementerian Sosial RI pada tanggal 5 April 2021, sudah tepat, sangat relevan, dan patut didukung serta diapresiasi. Kita berharap Pemerintah Pusat dapat mewujudkan usulan Maluku Utara tersebut. Semoga...!



Catatan :

Tulisan ini pernah di Terbitkan Malut Post, Edisi 7 April 2021


Komentar